Melawan Mafia Bisnis

ABDILLAH TOHA

Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengatakan bahwa negeri ini sedang menghadapi berbagai mafia. Mafia pangan, mafia ikan, mafia migas, dan lainnya (Kompas, 15/6/2015). Kalau mau ditambah masih ada lagi: mafia tanah, mafia bioskop, mafia saham, mafia TV, mafia pengecer, dan banyak lagi.

Istilah mafia yang berasal dari Sicilia, menurut Reader’s Digest, berasal dari bahasa Arab “ma’siyah” yang berarti maksiat. Sicilia pernah diduduki oleh penguasa Arab. Namun, arti umum mafia adalah kelompok kriminal yang terorganisasi (organized crime). Sementara mafia yang dimaksud Jokowi adalah mafia bisnis. Kelompok ini legitimate. Bukan kriminal, melainkan bisa menabrak aturan main yang ditetapkan oleh peraturan dan undang-undang melalui cara yang lihai dengan memanfaatkan berbagai lubang dari aturan hukum.

Kelompok ini biasanya punya kekuatan keuangan yang besar. Koneksi mereka kuat dengan penguasa di bidangnya, intimidatif apabila ada yang mengganggunya, cenderung monopolistik dan menguasai pasar, serta ikut memengaruhi kebijakan pemerintah agar menguntungkan kelompoknya.  Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, kelompok mafia memberikan imbal balik kepada penguasa dan politisi dalam bentuk uang, saham, dana pemilu, atau bentuk-bentuk lain yang sulit dilacak.

Informasi adalah bagian penting dari kerja mafia. Mereka bisa memperoleh informasi penting jauh sebelum diketahui publik melalui kontak-kontak bayaran mereka di pemerintahan.

Hasil keuntungan mereka umumnya disimpan di negeri-negeri yang “aman”, seperti Singapura dan kawasan bebas pajak,  atau diinvestasikan dalam surat-surat berharga di luar negeri atau investasi lain.

Belakangan para mafia ini sedikit terbuka kedoknya setelah pemerintah menunjuk tim migas yang diketuai Faisal Basri dan setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melakukan gebrakan menenggelamkan kapal-kapal “asing” pencuri ikan.  Mafia tanah yang menguasai bank tanah dan menentukan harga tanah di kota-kota besar sejauh ini belum tersentuh. Mafia beras mempermainkan harga beras dengan menimbun dan menekan pembelian dari petani.

Memberantas mafia

Melawan mafia tidak mudah karena mereka kuat dan tidak akan tinggal diam. Selama bertahun-tahun mereka justru dipelihara dan dibesarkan oleh kekuatan politik tertentu guna menjamin kelangsungan kekuasaan mereka. Mereka akan melawan menggunakan kekuatan uang, lobi politik, media, dan apabila perlu dengan teror.

Politisi, anggota DPR, aparat hukum, dan pejabat yang dipelihara dan banyak menikmati keuntungan materi dari mereka tidak akan tinggal diam melihat sumber penghasilannya dihancurkan. Namun, dengan tekad yang bulat, pemerintah yang bersih dan berkemauan politik dapat meminimalkan kerusakan yang diakibatkan oleh berbagai mafia ekonomi ini sebagai berikut.

Pertama, membersihkan aparat hukum dan pejabat dari unsur-unsur kotor yang memperkaya diri sendiri. Jika ada kemauan politik, tidak sulit mengidentifikasi mereka dan menggantikannya dengan orang-orang yang bersih dan berani. Selama masih ada pejabat yang bisa dibeli, selama itu pula berbagai mafia akan meraja lela.

Kedua, memaksakan transparansi dalam setiap transaksi oleh pengusaha. Salah satu trik mafia adalah menutupi pemilik sebenarnya dari usaha mereka. Saham PT dimiliki oleh PT yang dimiliki oleh PT lain, seterusnya bertingkat-tingkat sehingga sulit diketahui orang kuat sebenarnya di belakang usaha itu. Trik lain adalah dengan melakukan transaksi bertingkat kepada perusahaan milik sendiri di luar negeri. Perlu ada undang-undang membatasi kepemilikan bertingkat sampai maksimum dua tingkat.

Ketiga, memberantas praktik transfer pricing dengan audit khusus terhadap transaksi yang mencurigakan. Mafia sering menyewa atau melakukan pembelian bahan baku dari perusahaan milik sendiri di luar negeri dengan harga jauh di atas harga pasar (over price) atau menjual hasil produksi dengan harga di bawah pasar (under price). Dengan demikian, dia akan membatasi laba di dalam negeri atau bahkan merugi guna menghindari pajak di dalam negeri.

Keempat, menjaga ketat agar kebijakan pemerintah yang dapat memengaruhi pasar tidak bocor sebelum diumumkan dengan membatasi jumlah pejabat yang diikutsertakan dalam merumuskan kebijakan penting.

Kelima, melaksanakan dengan konsekuen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, mengefektifkan kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang belakangan tumpul, serta memberantas monopoli dan persekongkolan dalam tender.

Keenam, mengintensifkan pemeriksaan pajak pada usaha-usaha yang ditengarai menggelapkan pajak, baik dengan melanggar hukum maupun dengan memanfaatkan lubang-lubang dalam peraturan pajak.

Perlu tekad politik

Ketujuh, menggunakan kekuatan ekonomi pemerintah untuk membangkrutkan mereka yang mencari keuntungan besar dengan cara menimbun, bukan dengan menggunakan polisi ekonomi atau sejenisnya, melainkan dengan membanjiri pasar dengan barang yang diperdagangkan. Mafia tanah dapat dihentikan dengan peraturan mengenakan pajak bertingkat atas kepemilikan lahan kosong untuk waktu lama, membatasi areal tanah yang dimiliki pada setiap saat, dan pemerintah memiliki sendiri bank tanah untuk mengimbangi kepemilikan swasta.

Kedelapan, menghilangkan segala bentuk subsidi yang tidak tepat sasaran dan hanya akan menciptakan dua harga yang mendorong penyelundupan. Sebaliknya, pemerintah melakukan kebijakan afirmatif dan memberi insentif kepada usaha-usaha yang menghasilkan devisa dan menciptakan lapangan kerja bagi khalayak.

Kesembilan, menghindari sejauh mungkin perangkapan jabatan (dwifungsi) pengusaha dengan pejabat atau politisi dengan peraturan yang jelas tentang benturan kepentingan (conflict of interest).

Kesepuluh, menjaga wibawa pemerintah dengan pelaksanaan hukum yang tegas, disiplin aparat, dan konsistensi dalam menetapkan kebijakan yang mendukung iklim usaha yang sehat.

Memang tidak mudah melawan berbagai kekuatan bisnis mafia ini. Akan tetapi, dengan tekad bulat politik, komunikasi publik yang jelas, dan niat yang tulus, rakyat akan mendukung dan perlahan, tetapi pasti mafia bisnis di Tanah Air akan dapat dikendalikan.

Abdillah Toha; Pemerhati Politik

Etika Puasa

AGUS MUHAMMAD

Orang Barat mengatakan nobody’s perfect, tidak ada manusia sempurna. Dengan nada yang hampir sama, di kalangan Muslim tradisional terdapat pepatah al-Insanu mahallul khatha’ wan nis’yan, manusia tempatnya salah dan khilaf.

Dua ungkapan di atas adalah peringatan kepada kita semua agar selalu berusaha menuju kesempurnaan, bukan sebaliknya, menjadi pembenaran bagi kealpaan. Justru karena manusia tidak sempurna, maka harus ada upaya serius agar tidak terus terjebak dalam kekhilafan. Puasa adalah sarana menuju kesempurnaan. Puasa Ramadhan adalah cara Tuhan melatih umat- Nya agar selalu ada peningkatan kualitas, baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial.

Melalui pembiasaan yang dilakukan secara disiplin selama sebulan penuh, umat Islam diharapkan bisa mencapai derajat paling tinggi di mata Allah SWT, yakni derajat takwa. Perintah puasa adalah sarana menuju ketakwaan (QS Al Baqarah: 183). Dan, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa (QS Al Hujuraat:13).

Tangga kesempurnaan

Sebagai sarana menuju kesempurnaan, puasa tentu saja tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebagaimana kehidupan sosial, pelaksanaan puasa juga ada etikanya. Itulah sebabnya, Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumaddin membagi puasa dalam tiga level. Puasanya orang awam (shaumul ‘am), puasanya orang istimewa (shaumul khash), dan puasanya orang super istimewa (shaumu khawashil khawash).

Pada level pertama, orang berpuasa hanya menahan nafsu makan, minum, dan berhubungan badan. Puasa level kedua, di samping menahan nafsu perut dan kelamin, juga berusaha mencegah mata, mulut, tangan, kaki, dan anggota-anggota tubuh lainnya dari perbuatan maksiat. Puasa level ketiga adalah puasa hati dari segala pikiran dan kesenangan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari Allah.

Dalam konteks ini, Al-Ghazali sesungguhnya tidak sedang membicarakan puasa dalam kategori sosial. Sebagai guru sufi, Imam Ghazali sesungguhnya sedang membicarakan puasa sebagai tangga menuju kesempurnaan. Puasa adalah pelatihan menuju perbaikan karakter.

Secara implisit Imam Ghazali ingin memberi pesan moral agar puasa umat Islam dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sebab, jika kualitas puasa tidak pernah beranjak dari level puasa awam, maka orang tersebut termasuk kategori khasir, merugi.

Nabi bersabda, “Barang siapa yang keadaan amalnya hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka ia terlaknat. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung.” (HR Bukhari)

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah disebutkan bahwa orang yang puasa hanya pada level pertama, ia sesungguhnya tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga.

Ibarat latihan, puasa yang tidak meningkat levelnya dari tahun ke tahun, berarti latihan selama sebulan penuh menjadi tidak ada artinya. Sebuah latihan disebut berhasil jika melahirkan peningkatan yang signifikan.

Etika sosial

Puasa adalah kombinasi dari latihan disiplin fisik, disiplin moral, dan disiplin spiritual. Seseorang yang dilatih disiplin fisik saja tidak menjamin lahirnya disiplin moral, apalagi disiplin spiritual. Puasa adalah kombinasi dari ketiganya.

Sebagai latihan disiplin fisik, kita dituntut untuk melakukan pembiasaan sedemikian rupa, baik dari segi waktu maupun pola makan dan minum. Agar disiplin fisik bisa berhasil, puasa juga mengharuskan kita melakukan pembiasaan untuk menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan tercela. Dari pembiasaan inilah diharapkan lahir disiplin moral.

Lebih dari itu, puasa juga mengajarkan kita untuk terlatih dengan disiplin spiritual. Berbagai jenis ibadah sangat dianjurkan dalam bulan puasa, mulai dari membaca Al Quran, shalat sunah, khususnya tarawih, i’tikaf, hingga amal ibadah yang berdimensi sosial, seperti infak, zakat, dan sedekah. Amalan-amalan ini begitu dianjurkan dengan pahala yang begitu besar.

Dalam hadis qudsi dinyatakan, “Setiap kebajikan mendapat pahala 10 hingga 700 kali lipat, kecuali puasa itu sendiri. Itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (HR Al-Bukhoriy dan Malik)

Keberhasilan puasa

Keberhasilan puasa akan ditentukan sejauh mana latihan disiplin fisik, moral, dan spiritual tersebut bisa menjadi etika sosial. Inilah yang dimaksudkan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Thabrani: sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi orang lain.

Oleh karena itu, puasa pada dasarnya juga latihan untuk mengasah kepekaan dan kepedulian sosial. Pesan moral ini tidak hanya terlihat dari tidak makan dan minum sebagai ekspresi empati terhadap kelompok sosial yang tidak mampu, tetapi juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk menunaikan zakat menjelang akhir puasa. Fakir dan miskin adalah kelompok sosial yang menempati urutan teratas sebagai pihak yang berhak untuk  menerima zakat.

Islam sangat menekankan etika sosial. Puasa melatih kita untuk berempati terhadap kelompok lain, terutama kelompok yang termarjinalkan, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, agama maupun etnis. Banyak sekali ayat dalam Al Quran yang secara eksplisit maupun implisit menganjurkan amal saleh.

Secara sederhana, amal saleh adalah perbuatan baik yang menimbulkan manfaat, kebaikan, dan kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain. Amal saleh juga adalah perbuatan yang bisa mencegah dan menjauhkan diri dan orang lain dari perbuatan yang tercela, dilarang atau yang menimbulkan kesulitan, kerusakan dan kemudaratan.

Yang menarik adalah bahwa di dalam Al Quran, kata iman dan amal saleh disebutkan secara beriringan di 71 tempat. Empat di antaranya disebut bersamaan dengan kata tobat. Kata amanu (beriman) sendiri terulang 258 kali dalam Al Quran, dan kata `amilus shalihat (amal saleh) terulang 53 kali.

Begitu kuatnya penekanan Al Quran terhadap iman dan amal saleh ini sehingga secara implisit ingin ditegaskan bahwa iman tanpa amal saleh tidak ada artinya. Toshihiko Izutsu (1983), seperti dikutip Izza Rohman Nahrowi (2008), melukiskan kaitan antara iman dan amal saleh “seperti bayangan yang mengikuti bentuk bendanya”.

Puasa yang dilakukan sepenuh hati tidak hanya dapat melahirkan pribadi yang matang secara moral dan spiritual, tetapi juga memiliki kepekaan dan kepedulian sosial. Integrasi disiplin fisik, disiplin moral, dan disiplin spiritual merupakan prasyarat penting menuju tegaknya etika sosial.

Agus Muhammad; Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama

Bahasa, Agama, dan Budaya

KOMARUDDIN HIDAYAT

Dari nama saja sudah bisa diduga bahwa saya seorang Muslim. Belajar Islam sejak kecil di lingkungan keluarga dan masjid. Setelah tamat pesantren lalu meneruskan ke Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1974, yang sekarang berkembang menjadi UIN, Universitas Islam Negeri.

Di samping sebagai anak kandung ayah-ibu, saya adalah anak kandung budaya yang mengasuh dan membesarkan diriku. Produk pengasuhan budaya itu terlihat paling nyata dalam aspek bahasa, yaitu bahasa Jawa dan Indonesia. Ada ungkapan klasik: language carries cultures. Dalam bahasa terkandung budaya. Dalam bahasa tersimpan nilai-nilai yang diekspresikan dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui tradisi.

Jadi, dalam diriku terekam dan tertanam nilai-nilai yang berakar kepada tradisi Jawa, Indonesia, dan Islam. Tradisi kejawaan dan keindonesiaan telah berbaur dan sulit dipisahkan. Mungkin juga antara keislaman dan kearaban di Timur Tengah juga saling terkait.

Dalam pengasuhan budaya

Membayangkan keislamanku, pasti telah bercampur dengan nilai-nilai kejawaan, keindonesiaan, dan kearaban. Ditambah lagi mungkin pengaruh studi dan pengalaman saya tinggal di luar negeri non-Arab. Oleh karena itu, saya tak berani menyebut diriku menganut Islam murni.

Bagi saya, istilah dan pembatasan Islam murni itu mengundang perdebatan. Konsepnya belum jelas. Meski terlahir sebagai orang Jawa, bagi saya yang namanya Jawa murni itu tidak ada. Seseorang itu tumbuh dalam pengasuhan budaya yang di dalamnya terdapat unsur-unsur agama. Terlebih sekarang kita hidup di era informasi yang telah memungkinkan terjadi banjir informasi merambah ke berbagai kelompok masyarakat tanpa bisa dibendung. Ditambah lagi informasi yang hadir dalam bentuk bahasa gambar membuat dunia terasa semakin sempit sekaligus plural. Perjumpaan antarbudaya dan agama telah melahirkan konflik, tetapi sekaligus juga pengayaan yang berlangsung setiap saat.

Ketika membaca keislaman saya sendiri, sering kali saya merasakan terjadi dialog dan konflik antara pengaruh tradisi kejawaan, komitmen keindonesiaan, kesetiaan kepada Islam dan juga pengaruh keilmuan literatur filsafat Barat yang pernah saya pelajari. Hati saya sering tergetar dan kagum ketika membayangkan pemuda-pemuda angkatan 1928 yang telah berjuang untuk membangun dan merajut bangsa Indonesia, tetapi tetap menghargai dan menjaga identitas suku serta kekayaan daerah yang begitu beragam. Mereka menghadapi tantangan tidak saja dari imperialis Belanda, tetapi juga dari penguasa-penguasa lokal yang tengah menikmati kekuasaan dan bersahabat dengan penjajah. Cita-cita dan tekad mereka secara resmi menjelma dalam rumah besar negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945, meski proses pematangan konsep kebangsaan masih terus berlangsung hingga hari ini.

Keterikatan saya kepada tradisi Jawa dan cita-cita keindonesiaan bertemu dengan komitmen keislaman saya dalam rumah epistemologis-ideologis yang bernama Pancasila. Jika sila ketuhanan diposisikan dalam titik sentral, maka yang dimaksudkan adalah kebertuhanan yang menumbuhkan komitmen kemanusiaan yang bermuara kepada kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat Indonesia. Kalaupun sila kemanusiaan yang menjadi pijakan sentral, yang diharapkan adalah perilaku kemanusiaan yang berketuhanan dan yang peduli kepada agenda keadilan dan kesejahteraan bangsa.

Dengan demikian, saya tidak mau memperhadapkan antara tradisi kejawaan saya dengan semangat keindonesiaan dan keislaman. Lebih dari itu, setiap ajaran agama selalu memerlukan rumah dan teritori negara sebagai tempat untuk tumbuh berkembang. Membayangkan dunia hanya diisi dan dikuasai oleh satu bahasa, etnis, budaya, dan agama adalah mustahil. Di samping itu juga tidak menarik dihuni.

Dengan segala keterbatasan yang melekat, saya belajar ilmu keislaman yang disajikan terutama dalam bahasa Arab dan Inggris. Meskipun Al Quran saya yakini sebagai wahyu Allah, tetapi bahasa mediumnya adalah lisan Arab yang terikat dengan tradisi dan kaidah budaya.

Oleh karena itu, jika disebutkan salah satu kemukjizatan Al Quran terletak kepada dimensi keindahan dan keunggulan bahasanya, terus terang saya tidak mudah menghayati dan menyelaminya karena saya bukan ahli sastra Arab. Saya cukup percaya saja kepada pendapat yang ahli bahasa Arab. Bahkan ketika berdoa dalam bahasa Arab, otak dan hati saya berbicara kepada Tuhan dengan bahasa Indonesia atau Jawa. Bibir saya mengucapkan bahasa Arab-Al Qur an, tetapi hati saya berbahasa Indonesia. Dengan demikian, saya sembahyang menggunakan multibahasa. Jika kekhusyukan shalat itu di hati, maka hati saya jangan-jangan shalat dengan bahasa ibu. Agama dan budaya saling membantu dalam shalat saya.

Mengingat kitab suci lahir dan terbakukan dalam ranah budaya, maka tanpa mengetahui bahasa dan budaya tempat lahir sebuah kitab suci banyak pesannya yang tidak tertangkap. Bagi diri saya yang lahir dan tumbuh di Indonesia, untuk memahami pesan Tuhan yang terkandung dalam kitab suci Al Quran terdapat banyak hambatan serius. Pertama, hambatan bahasa. Saya memahami dan mereproduksi ulang pesan Al Quran dalam benak saya yang menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, karakter bahasa Arab dan Indonesia memiliki perbedaan serius. Jumlah kosa kata bahasa Arab lebih kaya dibandingkan bahasa Indonesia sehingga banyak sekali kata dan istilah dalam Al Quran yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, terjadilah distorsi dan penyempitan makna ketika diterjemahkan mengingat banyak diksi dalam kitab suci yang bersifat konseptual sehingga memerlukan penjelasan panjang lebar.

Universalitas dan lokalitas

Yang sangat membantu diri saya untuk menangkap pesan dasar agama dan kemanusiaan adalah adanya konsep universalitas yang didukung penalaran rasional. Apa pun bahasa, agama, dan budaya seseorang mereka sepakat bahwa dalam perilaku dan pergaulan internasional terdapat nilai-nilai universal yang sama-sama ingin dijaga dan ditegakkan. Misalnya, konsep dan keinginan untuk menegakkan keadilan, kejujuran, perdamaian, dan hidup saling hormat-menghormati.

Dalam kajian psikologi moral dikatakan, setiap pribadi ingin meraih well being, hidup yang baik, benar, dan bahagia. Untuk meraih itu, salah satu syarat mutlak yang mesti dipenuhi adalah mampu membangun a good relationship, hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarnya dan yang memiliki kepentingan dengannya. Hal ini meniscayakan sikap untuk selalu menghormati perbedaan, menerima perbedaan, dan merayakan perbedaan itu. Jadi, menghargai keragaman merupakan keniscayaan jika ingin hidup damai.

Bahwa dalam sejarah terjadi konflik, peperangan dan kejahatan, semua itu kenyataan yang tak terhindarkan. Manusia terlahir dengan membawa nafsu dan kecenderungan egoistik serta tega memangsa yang lain. Namun, rasanya nalar sehat sepakat mengatakan bahwa kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kedamaian serta keadilan merupakan realitas yang diidealkan dan selalu didambakan sepanjang sejarah. Semua itu sejalan dengan pesan agama, sehingga peperangan dan kejahatan dianggap melawan ajaran dasar agama dan peradaban.

Mengingat semua agama diyakini datang dari Tuhan pencipta manusia, maka nilai-nilai dasar agama memiliki perhatian kepada agenda kemanusiaan universal, sekalipun agama lahir dan terbentuk dalam jubah budaya dan bahasa yang bersifat lokal. Oleh karena itu, pesan universalitas agama terwadahi dalam format lokalitas bahasa dan budaya. Hanya saja ketika jumlah penduduk bumi semakin banyak, tak sebanding dengan jumlah penduduk di saat agama-agama itu lahir, dan perjumpaan lintas pemeluk agama juga berlangsung secara intens dan masif, maka nilai- nilai universal agama sering kali tertutupi dengan bungkus lokalnya.

Bungkus yang semula merupakan budaya lokal serta profan lalu disakralkan. Membela budaya seakan identik dengan membela agama. Arabisme dan Islamisme lalu tak terpisahkan. Sementara itu, agama Kristen yang juga lahir di wilayah Timur Tengah sekarang ter-“Barat”-kan.

Keberagamaan di Nusantara ini bisa menjadi dalam berbagai aspeknya lebih esensial, substantif, tetapi oleh sebagian orang dipandang dangkal, pinggiran. Mungkin sekali umat Islam Indonesia lebih bersemangat dalam melaksanakan ibadah. Lebih toleran dan senang menjaga keamanan ketimbang masyarakat Arab yang ribut bertengkar dan berperang dengan membawa jargon keagamaan.

Misalnya saja konflik Sunny-Syiah, itu warisan lama perebutan kekuasaan politik umat Islam Arab sepeninggal Rasulullah. Sementara di Indonesia, para sultan rela membubarkan diri demi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi, mengapa perebutan politik di Timur Tengah mau dibawa-bawa ke Indonesia dengan baju keagamaan? Kita mesti bedakan antara universalitas Islam dan lokalitas bahasa serta budaya yang menjadi medium dan kendaraannya.

Komaruddin Hidayat; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Membuat Jera Koruptor

LUKY DJANI

Sejak tahun 2004 hingga kuartal pertama 2015, 311 kasus dan tak kurang dari 460 residivis telah dieksekusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Saat ini proses persidangan untuk kasus korupsi dengan pelaku, di antaranya, Fuad Amin, Sutan Bhatoegana, dan Waryono Karyo masih akan berlanjut. Mereka boleh jadi bukan penyelenggara negara terakhir yang dituntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Gelombang proses penegakan hukum akan terus berlanjut sepanjang korupsi masih tetap jadi kebiasaan atau kelaziman dalam pemerintahan. Akan tetapi, walau sudah beratus orang diganjar sanksi pidana dan denda, dengan mengaitkan tindakan korupsi dengan pencucian uang yang berarti menambah berat sanksi yang diterima para koruptor, korupsi tetap bersemi.

Dampak dari terapi kejut terhadap pelaku korupsi belum membuat mereka kapok. Ada yang berpendapat sanksinya masih terlalu ringan sehingga korupsi masih diyakini sebagai kegiatan yang low cost, low risk and high profit alias tanpa usaha tapi untung terus.

Oleh karena itu, hukuman perlu diperberat agar timbul efek jera. Referensi yang kerap dijadikan acuan adalah hukuman mati di Tiongkok yang diyakini dapat meredam korupsi. Atau, hukuman berlapis yang lazim digunakan di negara-negara Eropa Timur pasca runtuhnya tembok Berlin dan kekuasaan Uni Soviet.

Pendekatan efektif lain adalah “operasi cuci gudang” yang dilakukan di Italia pada awal dekade 1990-an. Pemberantasan korupsi dipimpin oleh jaksa Antonio Di Pietro. Ia berhasil menggelandang tiga mantan perdana menteri dan lebih dari 12.000 orang diinvestigasi yang berujung pada penghukuman lebih dari 5.000 pebisnis dan politikus sepanjang Desember 1992 hingga Agustus 1999. Operasi pembersihan ini dikenal dengan nama Operation Clean Hands (Mani Pulite).

Akan tetapi, mengapa para penyelenggara negara di Indonesia beserta kaki tangannya tidak jera dan tetap saja korupsi?

Akar korupsi di Indonesia

Korupsi, menurut para sejarawan, telah tumbuh subur bahkan sebelum masa pemerintahan kolonial. Saat itu, konstelasi politik masih patrimonial dan feodal sehingga secara “hukum” belum dapat dikategorikan sebagai korupsi.

Gratifikasi pada masa itu disebut upeti dan bagian dari “tradisi” hierarkis simbol loyalitas bawahan kepada junjungannya. Memberi upeti bukanlah pelanggaran hukum. Kebiasaan ini kemudian dilanjutkan ke dalam “birokrasi modern” dalam naungan pemerintah kolonial walaupun birokrat disebut sebagai pamong praja, bukan lagi pangreh praja atau abdi dalem.

Etos dan karakter birokrasi demikian dilanjutkan pada masa kemerdekaan dan Orde Baru, bahkan berlanjut hingga sekarang (Tydey, 2012). Begitu juga dengan varian penyimpangan kekuasaan lain, seperti manipulasi aset dan penggelembungan nilai atau penyunatan anggaranKorupsi terjadi sebelum pemerintahan modern yang dinamakan Indonesia terbentuk. Kelompok sosial dan politik lebih dulu ada sebelum pemerintah, dan-celakanya-nilai, etos, relasi telah hadir dan “dilestarikan” sehingga menjadi aturan main yang mendominasi aturan formal yang berlaku. Memang ada perubahan institusional dan kerangka hukum, tetapi seperti pengamatan Silvia Tydey di salah satu provinsi di Indonesia timur, apa yang disebut shadow government oleh William Reno (2008) atau state of non-existence oleh Kalir dan Wilson (2010) menjadi fondasi berlangsungnya pemerintahan.

Faktor kedua adalah secara umum organisasi politik belum mandiri dari segi pendanaan. Tumpuan pendanaan pada donatur kakap dan kerap menjadi patron finansial kelompok tersebut. Cara lain adalah dengan membuat “kendaraan usaha” untuk mengerjakan proyek-proyek pemerintah atau mengurusi konsesi sumber daya alam. Namun, jalan termudah adalah menjadi broker yang mengharap rente dari pelayanan sebagai penengah.

Dua faktor di atas menjadi fondasi korupsi sebagai kejahatan terorganisasi. Kerangka “pemerintahan bayangan” dengan etos dan langgam yang telah mengakar selama ratusan tahun memfasilitasi manipulasi terhadap anggaran negara ataupun sumber daya alam. Prosesi ini dilakukan secara terorganisasi dan sinergis antarkelompok. Tanpa mengatasi kedua problem tersebut, pemberantasan korupsi akan terus berhadapan dengan kasus yang berulang.

Masyarakat permisif

Di sisi lain, masyarakat pun cenderung permisif terhadap korupsi. Warga dari struktur sosial bawah memandang korupsi sebagai mekanisme yang menindas mereka. Terkadang, untuk mendapatkan layanan publik, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan yang tentu saja memberatkan kondisi ekonomi kelaurga.

Akan tetapi, temuan Mungiu-pippidi (1998) mengatakan bahwa warga di negara-negara berkembang cenderung menerima kondisi ini karena ketiadaan pilihan layanan publik. Mereka paham bahwa hanya dengan memberikan uang pungli, urusan mereka dapat dipercepat.

Kelompok warga dari strata sosial yang lebih tinggi, kelas menengah, juga terbawa pada kondisi apatis dan cenderung takluk pada iklim koruptif. Berbeda dengan warga dari strata sosial bawah, kelas menengah dan atas menghindari bertele-telenya proses layanan dengan memberikan pungli. Selain itu, bagi mereka yang bisnisnya tidak bersentuhan dengan pemerintah memilih menjauhi interaksi dengan “instansi terkait”.

Tanpa melumerkan apatisme publik, akan sangat sulit untuk mendorong pelibatan warga secara aktif agar mereka benar-benar terlibat dalam membendung korupsi. Sikap apatisme dan cenderung berkompromi dengan sistem koruptif jadi lahan subur tindak korupsi bersemai.

Melanjutkan ikhtiar

Selama ini tak dimungkiri KPK telah menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi. Namun, sebagai institusi menjadi bersih sendiri ternyata tidak cukup. Pengalaman  akhir-akhir ini yang dihadapi KPK menunjukkan institusi ini berjuang nyaris sendirian

Jika  kita menyadari bahwa korupsi politik dan tumpulnya penegakan hukum menjadi perekat dari kejahatan terorganisasi korupsi, mencari politikus dan aparat penegak hukum di luar KPK yang memiliki integritas dan komitmen adalah prioritas. Memang, bergandengan tangan dengan mereka-khususnya dengan politikus-pada awalnya membuat canggung.

Namun, dari pengamatan penulis, masih ada politikus muda anggota legislatif daerah yang mumpuni. Penulis sangat yakin masih ada politikus, walau minoritas, yang memiliki komitmen membuat Indonesia berintegritas dan berkeadilan.

Begitu juga dengan menggerakkan masyarakat. Perlu energi ekstra untuk mengajak warga aktif dan berani meninggalkan kebiasaan “pasrah” terhadap sistem koruptif. Pembenahan korupsi memerlukan pelibatan sebanyak mungkin elemen bangsa.

Merambahnya korupsi penting dilokalisasi dengan membangun tidak hanya sistem, tetapi juga gerakan publik secara masif. KPK perlu memproduksi semangat kolektif guna meredam korupsi. Ajakan fastabiqul khairat, berlomba-lomba berbuat kebaikan, haruslah menggugah elemen bangsa untuk memberantas korupsi.

Luky Djani, Peneliti Institute for Strategic Initiatives

Menjadikan Rupiah Berdaulat di NKRI

JUNANTO HERDIAWAN

Rupiah stabil dan berdaulat adalah harapan kita semua. Meski demikian, kenyataan tak selalu berjalan seiring dengan harapan. Kita justru menyaksikan sendiri bagaimana nilai tukar rupiah tertekan dalam beberapa waktu terakhir.

Penyebab utama yang kerap kita dengar adalah karena faktor eksternal sehubungan dengan rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Fed. Hal tersebut telah mengakibatkan dollar AS menguat terhadap berbagai mata uang lain di dunia, termasuk mata uang rupiah.

Dengan sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran. Ini artinya, apabila permintaan terhadap dollar AS lebih tinggi, secara alamiah dollar AS akan menguat. Kalau kita ingin menjadikan rupiah lebih stabil dan menguat, jawaban sebenarnya sederhana, yaitu kurangi permintaan dollar AS, tingkatkan permintaan atau penggunaan rupiah.

Namun, masalahnya tentu tak sesederhana itu. Sejak 2011, kondisi di pasar valuta asing (valas) kita diwarnai oleh lebih tingginya permintaan valas, terutama dollar AS, daripada pasokannya. Tingginya permintaan dollar AS itu didasari oleh beberapa alasan, antara lain untuk kebutuhan impor, pembayaran utang luar negeri, dan penjualan barang jasa dalam satuan valuta asing.

Repotnya, guna memenuhi kebutuhan valas di dalam negeri, sekitar 80 persen pelaku pasar masih bertransaksi di pasar spot atau melakukan penjualan dan pembelian secara tunai atau langsung. Baru sekitar 20 persen pelaku pasar yang melakukan transaksi bukan spot, seperti melalui forward atau swap (transaksi dengan janji membayar di kemudian hari).

Selain itu, baru sekitar 26 persen pelaku transaksi valas yang melakukan lindung nilai (hedging). Tentu saja, kondisi seperti di atas dapat menyebabkan permintaan valas melonjak dalam suatu waktu dan pelaku pasar menjadi rentan terhadap risiko nilai tukar yang bergejolak.

Di sisi lain, kebutuhan pembayaran utang luar negeri kita juga meningkat. Hal ini seiring dengan jumlah utang luar negeri yang naik signifikan. Tahun 2005, utang luar negeri korporasi atau swasta berjumlah sekitar 80 miliar dollar AS. Pada 2015, jumlahnya meningkat dua kali lipat hingga mencapai sekitar 160 miliar dollar AS.

Selain itu, rasio pembayaran utang luar negeri swasta terhadap pendapatan ekspor atau yang dikenal dengan istilah debt service ratio (DSR) juga meningkat dari sekitar 15 persen pada 2007 menjadi sekitar 54 persen pada 2015. Kondisi ini dapat mengakibatkan kerentanan pada kondisi makroekonomi.

Simbol kedaulatan

Selain kedua faktor di atas, secara geoekonomi kita juga melihat kecenderungan meningkatnya pemakaian mata uang asing, khususnya dollar AS, dalam berbagai transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam praktik sehari- hari, masih banyak masyarakat Indonesia yang enggan menggunakan rupiah dan cenderung memilih menggunakan mata uang asing.

Transaksi mata uang asing di wilayah NKRI yang dilakukan antarpenduduk Indonesia secara nonbank jumlahnya cukup tinggi. Bayangkan, angkanya mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 78 triliun setiap bulan. Hal ini berarti sekitar Rp 936 triliun per tahun. Sementara itu, perputaran uang kertas asing di Indonesia mencapai sekitar Rp 10 triliun per bulan.

Tingginya transaksi dalam dollar atau “dolarisasi” tersebut telah merambah ke segala sektor ekonomi, mulai dari sektor migas, pelabuhan, tekstil, manufaktur, hingga perdagangan. Fenomena penggunaan mata uang asing di wilayah NKRI tak bisa dipandang sebagai konsekuensi dari liberalisasi, tetapi dapat dilihat sebagai bentuk “ancaman” atau soft invasion terhadap kedaulatan politik dan ekonomi suatu negara.

Pengalaman beberapa negara di Amerika Latin, Karibia, dan Pasifik membuktikan bahwa sikap permisif pada penggunaan mata uang asing di dalam negeri pada akhirnya justru menggusur peran mata uang lokal. Ada premis yang mengatakan bahwa mata uang yang kuat akan menggeser yang lemah.

Beberapa kebijakan perlu ditempuh untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas. Pertama, upaya melakukan pendalaman pasar keuangan. Langkah ini perlu dilakukan agar pelaku pasar memiliki lebih banyak pilihan instrumen dan kemudahan dalam bertransaksi sehingga mengurangi risiko. Kedua, monitoring yang ketat terhadap utang luar negeri, khususnya di sektor korporasi. Utang luar negeri swasta yang tidak terkendali akan meningkatkan risiko nilai tukar, likuiditas, dan terlalu banyak berutang (over leveraging).

Ketiga, dan yang tak kalah pentingnya, adalah perlunya masyarakat untuk mendukung penggunaan mata uang rupiah untuk bertransaksi di wilayah NKRI. Undang-Undang Mata Uang (UU No 7/2011) serta Peraturan Bank Indonesia No 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI telah secara tegas mengatur hal tersebut.

Menjadikan rupiah sebagai mata uang yang stabil dan berdaulat memang bukan langkah mudah. Tekanan terhadap rupiah ditentukan oleh banyak hal yang saling berkelindan. Langkah meningkatkan produktivitas ekonomi dan mengatasi defisit transaksi berjalan tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Namun, di sisi lain, upaya menjadikan rupiah berdaulat di negeri sendiri juga perlu didukung. Mata uang rupiah adalah salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Kita pernah memiliki pengalaman pahit saat lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari NKRI. Salah satu alasan yang muncul pada waktu itu adalah karena rupiah tidak lagi digunakan untuk bertransaksi di sana.

Junanto Herdiawan, Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia

Badan Pangan Nasional

ADHI S LUKMAN

Gonjang-ganjing harga beras, perlu tidaknya impor, sampai dengan penilaian kinerja Bulog dalam penyerapan beras terus terjadi dan seolah tiada akhir.

Begitu juga fluktuasi harga pangan lainnya, seperti daging sapi, cabai, bawang merah, dan kedelai. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai dari operasi pasar, imbauan, hingga pembenahan manajemen pemantauan seperti dilakukan Kementerian Perdagangan melalui monitor harga pangan pokok harian.

Kompleksitas masalah pangan perlu dibenahi secara terpadu. Kata kuncinya adalah “kewenangan dalam mengoordinasikan kebijakan serta implementasinya” agar kompleksitas masalah itu bisa diatasi.

Sebenarnya UU Pangan-UU No 18/2012 Pasal 126-129-telah mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga ini bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan. Dengan tugas dan kewenangannya yang jelas, lembaga ini diharapkan bisa menjadi komandan dalam koordinasi masalah pangan dari hulu ke hilir, pusat-daerah, sehingga gonjang- ganjing pangan tidak terjadi lagi.

Saat ini pemerintah sedang menyelesaikan peraturan presiden (perpres) terkait pembentukan lembaga dimaksud, yakni Badan Pangan Nasional (BPN). Sebagai turunan dari UU Pangan, BPN dirancang punya fungsi koordinasi, pengkajian, perumusan kebijakan, pembinaan, supervisi dan evaluasi di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, distribusi dan pelembagaan pangan, serta konsumsi dan pengawasan keamanan pangan. BPN juga bisa mengusulkan kepada Presiden agar memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Rekomendasi

Di tengah perbincangan hangat tentang BPN, baik mendukung maupun pesimistis, peran dan fungsi BPN perlu dirumuskan dengan baik. Pertama, pemerintah segera mengesahkan Perpres BPN sesuai amanat UU Pangan. Kedua, untuk melengkapi Perpres BPN, dengan segera diterbitkan perpres tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting agar lebih fokus dan menghindari area abu-abu dalam pengawasan di masyarakat dan pasar.

Ketiga, menata kembali hubungan kerja pemerintah pusat-daerah di bidang pangan, disesuaikan dengan UU Pangan, khususnya pangan pokok, seperti penetapan pangan lokal, sentra produksi pangan lokal, cadangan pangan lokal dan nasional, harga tingkat produsen dan konsumen, pasokan pangan, pajak, serta kewenangan ekspor-impor.

Keempat, merampingkan dan menata kembali/melebur lembaga yang selama ini menangani pangan dan segala aspeknya, seperti Dewan Ketahanan Pangan dan Badan Ketahanan Pangan.

Kelima, menata lembaga bidang pengawasan keamanan pangan, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Karantina Pertanian, dinas kesehatan di daerah, dan pengawasan barang beredar. Saat ini pengawasan terkotak-kotak sesuai kewenangannya, seperti pangan segar oleh Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, pangan olahan UMKM dan jasa boga melalui dinas kesehatan daerah, sedangkan pangan olahan industri menengah besar oleh BPOM.

BPN perlu mengkaji dan menetapkan satu lembaga terpadu pengawasan keamanan pangan, mengingat penetapan dan pengawasan keamanan pangan jadi tugas pemerintah serta jaminan keamanan pangan sulit dibedakan apakah pangan segar atau olahan. Apalagi, dengan perkembangan teknologi, akan kian sulit dibedakan mana yang pangan olahan, mana pangan segar.

Keenam, BPN segera mengevaluasi basis data pangan dan merekonsiliasikan agar kebijakan yang dikeluarkan tepat sasaran. Ketujuh, revitalisasi kebijakan/ regulasi pangan dari hulu ke hilir berbasis data rekonsiliasi.

Kedelapan, bagaimana BPN membangun kepercayaan masyarakat, melalui kebijakan dengan memperhatikan kearifan dan budaya lokal sehingga menjadi lembaga yang kredibel dan bermanfaat. Misalnya, tidak memaksakan pangan pokok beras untuk semua daerah, tetapi disesuaikan dengan potensi dan kebiasaan setempat, seperti Papua/ Maluku dengan sagunya, Madura dengan beras jagungnya.

Akhirnya, semua gonjang-ganjing pangan akan sirna dengan adanya BPN yang kredibel.

Adhi S Lukman; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan 

Pengaruh Kelas Sosial dan Status

Kelas sosial didefinisikan sebagai suatu strata (lapisan) orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian kesatuan) status sosial. Definisi ini memberitahukan bahwa dalam masyarakat terdapat orang-orang yang secara sendidi-sendidi atau bersama-sama memiliki kedudukan social yang kurang lebih sama. Mereka yang memiliki kedudukan kurang lebih sama akan berada pada suatu lapisan yang kurang lebih sama pula.

Dalam kehidupan setiap individu, masing-masing memiliki perbedaan yang cukup beragam. Setiap orang dapat membedakannya melalui kelas-kelas tertentu yaitu : kelas bawah, menengah, dan kelas atas. Perbedaan yang muncul terkadang membuat kita merasa ada yang kurang dari diri sendiri atau suatu ketidak kepercayaan. Apabila disangkut-pautkan dengan makna dari bhineka tunggal ika bangsa Indonesia : “meskipun berbeda tetapi tetap satu”. Seharusnya kita bisa memaknai kalimat tersebut. Perbedaan yang lain dapat dinilai dari fisik, keyakinan, ras, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia, kemampuan, dsb.

Pendekatan yang sistematis untuk mengukur kelas sosial tercakup dalam berbagai kategori yang luas berikut ini: ukuran subjektif, ukuran reputasi, dan ukuran objektif dari kelas sosial. Peneliti konsumen telah menemukan bukti bahwa di setiap kelas sosial, ada faktor-faktor gaya hidup tertentu ( kepercayaan, sikap, kegiatan, dan perilaku bersama ) yang cenderung membedakan anggota setiap kelas dari anggota kelas sosial lainnya.

Para individu dapat berpindah ke atas maupun ke bawah dalam kedudukan kelas sosial dari kedudukan kelas yang disandang oleh orang tua mereka. Yang paling umum dipikirkan oleh orang-orang adalah gerakan naik karena tersedianya pendidikan bebas dan berbagai peluang untuk mengembangkan dan memajukan diri.

Dengan mengenal bahwa para individu sering menginginkan gaya hidup dan barang-barang yang dinikmati para anggota kelas sosial yang lebih tinggi maka para pemasar sering memasukkan simbol-simbol keanggotaan kelas yang lebih tinggi, baik sebagai produk maupun sebagai hiasan dalam iklan yang ditargetkan pada audiens kelas sosial yang lebih rendah.

Sedangkan yang dimaksud dengan status sosial adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial atau kelompok masyarakat berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Adapun menurut Ralph Linton adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya. Jadi orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah.

  1. Pembangian kelas sosial terbagi 3 :

  1. Berdasarkan status ekonomi

Menurut Aristoteles kelas sosial dibagi menjadi :

  • Golongan sangat kaya
  • Golongan kaya
  • Golongan miskin

Menurut Karl Mark kelas sosial dibagi menjadi :

  • Golongan kapitalis
  • Golongan menengah
  • Golongan proletar

  1. Berdasarkan status social

Adalah adanya perbedaan pada penghormatan dan status mereka. Misalnya kasta pada masyarakat Bali. Marga pada masyarakat Batak dan lain-lain.

  1. Berdasarkan status politik adalah perbedaan karena wewenang dan kekuasaan yaitu:
  • Eksekutif
  • Legislative
  • yudikatif

  1. Cara Memperoleh Status

Disini ada 3 cara untuk memperoleh status diantaranya:

  1. Ascribed status : diberikan sejak lahir (jenis kelamin, gelar kebangsawanan, keturunan).
  2. Achived status : diperoleh karena usaha (gelar sarjana, dokter, pendidikan dll).
  3. Assigned status : diperoleh karena penghargaan (penghargaan Kalpataru)

  1. Akibat adanya status sosial dan kelas social

Karena disini terjadi perbedaan pada status sosial masing-masing masyarakat maka timbulah konflik diantara mereka. Konflik-konflik tersebut dapat digolongkan menjadi :

  • Konflik yang bersifat individu

Terjadi pada batin diri sendiri. Ini tejadi untuk menentukn pilihan, misalnya apakah dia ingin menjadi ibu rumah tangga atau memutuskan untuk menjadi wanita karir.

  • Konflik yang bersifat antar individu

Terjadi antara individu satu dengan yang lain. Misalnya, konflik yang terjadi dalam rumah tangga dalam hal perebutan warisan.

  • Konflik yang bersifat antar kelompok

Terjadi antara kelompok satu dengan yang lain.

Pengaruh dari adanya kelas sosial terlihat dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, baik kebutuhan primer, sekunder ataupun tersier. Untuk masyarakat dengan kelas sosial yang tinggi maka mereka akan membeli kebutuhannya dengan harga yang cukup mahal dibandingkan dengan masyarakat yang berkelas menengah dan rendah. Jadi setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing-masing. Status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya.

Sumber :

http://retno9293.blogspot.com/2012/10/pengaruh-kelas-sosial-dan-status-sosial.html

http://kebeekeboo.blogspot.com/2013/01/pengaruh-kelas-sosial-dan-status.html

http://wulandari-adja.blogspot.com/2014/01/pengaruh-kelas-sosial-dan-status.html

Pengaruh Kebudayaan Terhadap Pembelian dan Konsumsi

Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Latin = colere yang berarti pemeliharaan, pengelolaan tanah menjadi tanah pertanian. Sedangkan kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata buddayah. Kata budayyah berasal dari kata budhi atau akal. manusia memiliki unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan.

          Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

  • Kebudayaan itu hanya dimiliki oleh masyarakat manusia.
  • Kebudayaan itu tidak diturunkan secara biologis melainkan diperoleh melalui proses belajar.
  • Kebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

          Menurut Selo Soedmardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedagkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,religi, seni, dll, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

  • Kebudayaan Sebagai Tempat Seorang Individu Menemukan Nilai-Nilai Yang Dianutnya

       Individu tidak lahir dengan membawa nilai-nilai (values). Nilai-nilai ini diperoleh dan berkembang melalui informasi, lingkungan keluarga, serta budaya sepanjang perjalanan hidupnya. Mereka belajar dari keseharian dan menetukan tentang nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah. Untuk memahami perbedaan nilai-nilai kehidupan ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi dimana mereka tumbuh dan berkembang. Nilai-nilai tersebut diambil dengan berbagai cara antara lain :

  • Model atau contoh – dimana individu belajar tentang nilai-nilai yang baik atau yang buruk melalui observasi perilaku keluarga, sahabat, teman sejawat dan masyarakat lingkungannya dimana ia bergaul.
  • Moralitas – diperoleh dari keluarga, ajaran agama, sekolah dan institusi tempatnya bekerja dan memberikan ruang dan waktu atau kesempatan kepada individu untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang berbeda.
  • Sesuka hati adalah proses dimana adaptasi nilai-nilai kurang terarah dan sangat tergantung kepada nilai-nilai yang ada didalam diri seseorang dan memilih serta mengembangkan sistem nilai-nilai tersebut menurut kemauan mereka sendiri. Hal ini lebih sering disebabkan karena kurangnya pendekatan, atau tidak adanya bimbingan atau pembinaan sehingga dapat menimbulkan kebingungan, dan konflik internal bagi individu tersebut.
  • Penghargaan dan Sanksi : Perlakuan yang biasa diterima seperti : mendapatkan penghargaan bila menunjukan perilaku yang baik, dan sebaliknya akan mendapatkan sanksi atau hukuman bila menunjukan perilaku yang tidak baik.
  • Tanggung jawab untuk memilih – adanya dorongan internal untuk menggali nilai-nilai tertentu dan mempertimbangkan konsekuensinya untuk diadaptasi. Disamping itu, adanya dukungan dan bimbingan dari seseorang akan menyempurnakan perkembangan sistem nilai dirinya sendiri.

  • Pengaruh Kebudayaan Terhadap Perilaku Konsumen

          Pengertian perilaku konsumen menurut Shiffman dan Kanuk (2000) adalah perilaku yang diperhatikan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan mengabaikan produk, jasa, atau ide yang diharapkan dapat memuaskan konsumen untuk dapat memuaskan kebutuhannya dengan menkonsumsi produk atau jasa yang ditawarkan.

  • Model Perilaku Konsumen

  • Faktor Budaya

Faktor budaya memberikan pengaruh paling luas dan dalam pada perilaku konsumen. Pengiklan harus mengetahui peranan yang dimainkan oleh budaya, subbudaya dan kelas sosial pembeli. Budaya adalah penyebab paling mendasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Sub-budaya dapat dibedakan menjadi empat jenis : kelompok nasionalisme, kelompok keagamaan, kelompok ras, area geografis. Kelas-kelas sosial adalah masyarakat yang relatif permanen dan bertahan lama dalam suatu masyarakat, yang tersusun secara hierarki dan keanggotaanya mempunyai nilai, minat dan perilaku yang serupa. Kelas sosial bukan ditentukan oleh satu faktor tunggal, seperti pendapatan, tetapi diukur dari kombinasi pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kekayaan dan variabel lain.

  • Pengaruh Budaya Yang Tidak Disadari

Dengan adanya kebudayaan, perilaku konsumen mengalami perubahan. Dengan memahami beberapa bentuk budaya dari masyarakat, dapat membantu pemasar dalam memprediksi penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Pengaruh budaya dapat mempengaruhi masyarakat secara tidak sadar.

  • Pengaruh Budaya dapat Memuaskan Kebutuhan

Budaya yang ada di masyarakat dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Budaya dalam suatu produk yang memberikan petunjuk, dan pedoman dalam menyelesaikan masalah dengan menyediakan metode “Coba dan Buktikan” dalam memuaskan kebutuhan fisiologis, personal dan sosial.

  • Pengaruh Budaya Dapat Dipelajari

Budaya dapat dipelajari sejak seseorang sewaktu masih kecil, yang memungkinkan seseorang mulai mendapat nilai-nilai kepercayaan dan kebiasaan dari lingkungan yang kemudian membentuk kepribadian seseorang. Berbagai macam cara budaya dapat dipelajari. Seperti yang diketahui secara umum yaitu misalnya ketika orang dewasa dan rekannya yang lebih tua mengajari anggota keluarganya yang lebih muda mengenai cara berperilaku. Begitu juga dalam dunia industri, perusahaan periklanan cenderung memilih cara pembelajaran secara informal dengan memberikan model untuk ditiru masyarakat. Iklan tidak hanya mampu mempengaruhi persepsi sesaat konsumen mengenai keuntungan dari suatu produk, namun dapat juga mempengaruhi persepsi generasi mendatang mengenai keuntungan yang akan didapat dari suatu kategori produk tertentu.

  • Pengaruh Budaya yang Berupa Tradisi

Tradisi adalah aktivitas yang bersifat simbolis yang merupakan serangkaian langkah-langkah (berbagai perilaku) yang uncul dalam rangkaian yang pasti dan terjadi berulang-ulang. Hal yang penting dari tradisi ini untuk para pemasar adalah fakta bahwa tradisi cenderung masih berpengaruh terhadap masyarakat yang menganutnya. Misalnya yaitu, natal, yang selalu berhubungan dengan pohon cemara. Dan untuk tradistradisi misalnya pernikahan, akan membutuhkan perhiasan-perhiasan sebagai perlengkapan acara tersebut.

  • Dampak Nilai-Nilai Inti Terhadap Pemasar

  • Kebutuhan

Konsep dasar yang melandasi pemasaran adalah kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia adalah pernyataan dari rasa kehilangan, dan manusia mempunyai banyak kebutuhan yang kompleks. Semua kebutuhan berasal dari masyarakat konsumen, bila tidak puas, konsumen akan mencari produk atau jasa yang dapat memuaskan kebutuhan tersebut.

  • Keinginan

Keinginan digambarkan dalam bentuk objek yang akan memuaskan kebutuhan mereka atau keinginan adalah hasrat akan penawar kebutuhan yang spesifik. Masyarakat yang semakin berkembang, keinginannya juga semakin luas, tetapi ada keterbatasan dana, waktu, tenaga dan ruang, sehingga dibutuhkan perusahaan yang bisa memuaskan keinginan sekaligus memenuhi kebutuhan manusia dengan menebus keterbatasan tersebut, paling tidak meminimalisasi keterbatasan sumber daya.

  • Permintaan

Dengan keinginan dan kebutuhan serta keterbatasan sumber daya tersebut, akhirnya manusia menciptakan permintaan akan produk atau jasa dengan manfaat yang paling memuaskan. sehingga muncullah istilah permintaan, yaitu keinginan manusia akan produk spesifik yang didukung oleh kemampuan dan ketersediaan untuk membelinya.

Sumber : 

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/01/pengaruh-kebudayaan-terhadap-pembelian-dan-konsumsi/

Pengaruh Sikap dan Perilaku

Sikap adalah cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Selain itu, sikap atau attitude adalah suatu konsep paling penting dalam psikologi sosial. Pembahasan yang berkaitan dengan psikologi (sosial) hampir selalu menyertakan unsur sikap baik sikap individu maupun sikap kelompok sebagai salah satu bagian pembahasannya.

Banyak kajian dilakukan untuk merumuskan pengertian sikap, prose terbentuknya sikap, maupun proses perubahannya. Banyak pula penelitian telah dilakukan terhadap sikap untuk mengetahui efek dan perannya baik sebagai variabel bebas maupun sikap sebagai variabel tergantung

Kepercayaan konsumen terhadap suatu produk bahwa produk tersebut memiliki atribut adalah akibat dari pengetahuan konsumen. Menurut Mowen dan Minor kepercayaan konsumen adalah pengetahuan konsmen mengenai suatu objek, atributnya, manfaatnya. Pengetahuan tersebut berguna dalam mengkomunikasikan suatu produk dan atributnya kepada konsumen. Sikap menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut tersebut. Berikut adalah beberapa karakteristik sikap antara lain :

1.Sikap positif, negatif, netral.

2.Keyakinan sikap.

3.Sikap memiliki objek.

4.Konsistensi sikap.

5.Resistensi sikap.

Empat fungsi sikap yang bisa digunakan oleh pemasar sebagai metode untuk mengubah sikap konsumen terhadap produk dan atributnya menurut Daniel Katz antara lain :

1.Fungsi utilitarian.

2.Fungsi mempertahankan ego.

3.Fungsi ekspresi nilai.

4.Fungsi pengetahuan.

Pengukuran sikap yang paling populer digunakan oleh para peneliti konsumen adalah model multi atribut yang terdiri dari tiga model : the attittude toward-object model, the attittude toward-behavior model, dan the theory of reasoned-action model. Model ini menjelaskan bahwa sikap konsumen terhadap suatu objek sangat ditentukan oleh sikap konsumen terhadap atribut-atribut yang dievaluasi. Model ini menekankan tingkat kepentingan yang diberikan kosumen kepada suatu atribut sebuah produk. Model sikap lainnya yang juga sering digunakan adalah model sikap angka ideal. Model ini memberikan informasi mengenai sikap konsumen terhadap merek suatu produk sekaligus memberikan informasi mengenai merek ideal yang dirasa suatu produk. Perbedaannya dengan model multi atribut adalah terletak pada pengukuran sikap menurut konsumen.

Komponen yang secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude) yaitu :

  1. Kognitif (cognitive)

Berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk maka ia akan menjadi dasar seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari obyek tertentu

  1. Afektif (affective)

Menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki obyek tertentu.

  1. Konatif (conative)

Komponen konatif atau komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku dengan yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapi.

Sikap memiliki beberapa karakteristik, antara lain: arah, intensitas, keluasan, konsistensi dan spontanitas (Assael, 1984 dan Hawkins dkk, 1986). Karakteristik dan arah menunjukkan bahwa sikap dapat mengarah pada persetujuan atau tidaknya individu, mendukung atau menolak terhadap objek sikap. Karakteristik intensitas menunjukkan bahwa sikap memiliki derajat kekuatan yang pada setiap individu bisa berbeda tingkatannya. Karakteristik keluasan sikap menunjuk pada cakupan luas mana kesiapan individu dalam merespon atau menyatakan sikapnya secara spontan. Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling bereaksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Fungsi-fungsi Sikap

Daniel Kazt mengklasifikasikan empat  fungsi sikap yaitu :

  1. Fungsi Utilitarian

Merupakan fungsi yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar imbalan dan hukuman. Disini konsumen mengembangkan beberapa sikap terhadap produk atas dasar apakah suatu produk memberikan kepuasan atau kekecewaan. Jika seseorang menyukai suatu produk apakah dia akan mengembangkan sebuah sikap positif terhadap produk tersebut.

  1. Fungsi Ekspresi Nilai

Konsumen mengembangkan sikap terhadap suatu produk bukan didasarkan atas manfaat produk itu, tetapi lebih didasarkan atas kemampuan merek produk itu mengekspresikan nilai-nilai yang ada pada dirinya.

  1. Fungsi Mempertahankan Ego

Sikap yang dikembangkan oleh konsumen cenderung untuk melindunginya dari tantangan eksternal maupun perasaan internal, sehingga membentuk fungsi mempertahankan ego.

  1. Fungsi Pengetahuan

Melalui sikap yang ditunjukkan akan dapat diketahui bahwa dirinya memiliki pengetahuan yang cukup, yang banyak atau tidak tahu sama sekali mengenai objek sikap. Fungsi pengetahuan dapat membantu konsumen mengurangi ketidakpastian dan kebingungan dalam memilah-milah informasi yang relevan dan tidak relevan dengan kebutuhannya.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap

Faktor-faktor yang berperan penting dalam pembentukan sikap, yaitu :

  1. Pengaruh Keluarga

Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan sikap maupun perilaku. Keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat karena konsumen melakukan interaksi lebih intensif dibandingkan dengan lingkungan lain. Beberapa penelitian mengungkapkan sikap konsumen terhadap produk tertentu memiliki hubungan yang kuat dengan sikap orang tuanya terhadap produk tersebut.

  1. Pengalaman langsung

Pengalaman individu mengenai obyek sikap dari waktu ke waktu akan membentuk sikap tertentu pada individu.

  1. Kelompok teman sebaya (Peer Group Influences)

Teman sebaya punya peran yang cukup besar terutama bagi remaja dalam pembentukan sikap. Adanya kecenderungan untuk mendapatkan penerimaan dari teman-teman sebayanya, mendorong para remaja mudah dipengaruhi oleh kelompoknya dibandingkan sumber-sumber lainnya.

  1. Pemasaran langsung

Mulai banyaknya perusahaan yang menggunakan pemasaran langsung atas produk yang ditawarkan secara tidak langsung berpengaruh dalam pembentukan sikap konsumen.

  1. Kepribadian

Kepribadian individu memainkan peranan penting dalam pembentukan sikap.

  1. Tayangan Media Massa

Media massa ini sangat penting dalam pembentukan sikap, maka pemasar perlu mengetahui media apa yang biasanya dikonsumsi oleh pasar sasarannya dan melalui media tersebut dengan rancangan pesan yang tepat, sikap positif dapat dibentuk.

Memprediksi Perilaku Dengan Sikap

Terdapat enam faktor yang mempengaruhi kemampuan sikap dalam memprediksi perilaku, antara lain:

  1. Tingkat Keterlibatan Konsumen

Jika tingkat keterlibatan konsumen terhadap suatu obyek sikap tinggi (misalnya produk), maka perilakunya cenderung akan sesuai dengan sikapnya yang cenderung kuat.

  1. Pengukuran sikap

Jika pengukuran sikap valid dan reliabel dan mempunyai tingkat abstraksi yang sama dengan pengukuran perilaku serta dalam waktu yang relatif dekat atau bersamaan waktunya, maka sikap dapat digunakan untuk memprediksi perilaku.

  1. Pengaruh orang lain

Orang lain yang mempunyai pengaruh kuat dalam kondisi tertentu dapat mempengaruhi sebuah sikap yang negatif menghasilkan perilaku yang positif. Contoh seorang anak tidak suka pada produk pakaian merek A, namun karena orang tua atau kakaknya mempengaruhinya untuk memlih dan membeli merek B, maka meskipun sikapnya positif terhadap merek A, namun perilakunya tidak positif.

  1. Faktor situasional

Kondisi yang mendesak dan situasi yang tidak mendukung (dalam kondisi berduka /sakit maupun gembira) seringkali menyebabkan sikap tidak dapat digunakan untuk memprediksi perilaku.

  1. Pengaruh merek lain

Merek lain yang lebih unggul dalam memberikan manfaat yang diharapkan seringkali mempengaruhi hubungan sikap dengan perilaku.  Konsumen bisa memilih merek lain karena setelah dipilih dan dirasakan ternyata sesuai dengan yang diharapkan konsumen.

  1. Kekuatan sikap

Sikap dapat digunakan untuk memprediksi perilaku, ketika sikap tersebut sangat kuat ada pada konsumen.

Perubahan sikap dapat dilakukan melalui 5 (lima) strategi berikut :

  1. Mempengaruhi persepsi konsumen yang berkaitan dengan fungsi sikap yaitu fungsi manfaat, fungsi citra diri, fungsi nilai-nilai, fungsi pengetahuan. Agar terbentuk sikap positif pada konsumen, maka dalam mempromosikan produk sebaiknya pemasar memperhatikan aspek fungsi sikap.
  2. Menghubungkan produk dengan kelompok atau acara yang dikagumi

Sikap dihubungkan dengan sebagian atau berbagai golongan, peristiwa sosial, atau kegiatan amal tertentu.

  1. Memecahkan masalah dua sikap yang bertentangan

Para konsumen dapat diyakinkan bahwa sikap mereka yang negatif terhadap produk atau merek tertentu sebetulnya tidak bertentangan dengan dengan sikap yang lain, mereka dapat dibujuk untuk merubah penilaian mereka terhadap merek tersebut ( beralih dari sikap negatif ke sikap positif ).

  1. Mengubah komponen multi atribut

Untuk mengubah sikap konsumen pemasar menambah atribut pada produknya dengan melengkapi manfaat atau hal lain yang dapat meningkatkan keunggulan produknya.

  1. Mengubah keyakinan konsumen terhadap merek pesaing

Pemasar untuk mengubah sikap konsumennya dapat membandingkan produknya dibandingkan produk lain, dengan harapan agar konsumen berubah keyakinannya/ kepercayaannya terhadap merek pesaing.

SUMBER :

http://nirawarna.wordpress.com/2011/07/04/faktor-sikap-dalam-perilaku-konsumen/

http://yogifajarpebrian13.wordpress.com/2011/12/22/mempengaruhi-sikap-dan-perilaku/

Kepribadian, Nilai dan Gaya Hidup

  1. Pengertian Kepribadian

Kepribadian merupakan keseluruhan cara seseorang, di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang. Berbagai penelitian awal mengenai struktur kepribadian berkisar di seputar upaya untuk mengidentifikasikan dan menamai karakteristik permanen yang menjelaskan perilaku individu seseorang. Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seorang individu adalah malu, agresif, patuh, malas, ambisius, setia, dan takut. Karakteristik-karakteristik tersebut jika ditunjukkan dalam berbagai situasi, disebut sifat-sifat kepribadian. Sifat kepribadian menjadi suatu hal yang mendapat perhatian cukup besar karena para peneliti telah lama meyakini bahwa sifat-sifat kepribadian dapat membantu proses seleksi karyawan, menyesuaikan bidang pekerjaan dengan individu, dan memandu keputusan pengembangan karier.

 

  1. Cara identifikasi kepribadian

Terdapat sejumlah upaya awal untuk mengidentifikasi sifat-sifat utama yang mengatur perilaku. Seringnya, upaya ini sekadar menghasilkan daftar panjang sifat yang sulit untuk digeneralisasikan dan hanya memberikan sedikit bimbingan praktis bagi para pembuat keputusan organisasional. Dua pengecualian adalah Myers-Briggs Type Indicator dan Model Lima Besar. Selama 20 tahun hingga saat ini, dua pendekatan ini telah menjadi kerangka kerja yang dominan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sifat-sifat seseorang.

 

  1. Menilai kepribadian

Alasan paling penting mengapa manajer perlu mengetahui cara menilai kepribadian adalah karena penelitian menunjukkan bahwa tes-tes kepribadian sangat berguna dalam membuat keputusan perekrutan. Nilai dalam tes kepribadian membantu manajer meramalkan calon terbaik untuk suatu pekerjaan. Terdapat beberapa cara utama untuk menilai kepribadian. Yaitu:

  1. Survei mandiri
  2. Survei peringkat oleh pengamat
  3. Ukuran proyeksi (Rorschach Inkblot test dan Thematic Apperception Test)
  4. Metodelogi: banyak sekali kesulitan dan bias yang timbul ketika dilakukan studi-studi dalam ranah psikologi lintas budaya. Misalnya persoalan bahasa, penggunaan Multilingual (peneliti dan subjek penelitian memiliki bahasa yang berbeda) sehinggan member respon yang berbeda terhadap pertanyaan dalam tes kepribadian.
  5. Cara pengukuran: banyak alat-alat tes kepribadian dikembangkan oleh peneliti dari Amerika-Eropa. Sehingga sangat mungkin stimulus maupun standar norma dan interpretasi alat psikotes kurang mampu diterapkan dalam pengukuram kepribadian individu dari budaya non-western.

  1. Perkembangan Kepribadian

Menurut Sullivan, kepribadian berkembang dalam tahap-tahap perkembangan tertentu. Ada tujuh tahapan perkembangan yaitu :

  1. Infancy (masa kelahiran sampai mampu berbicara, usia 18 bulan)
  2. Childhood (masa kanak-kanak, usia 18 bulan sampai 5 tahun)
  3. Juvenile (usia 5-11 tahun)
  4. Preadolescence (masa pradewasa, antara 11-13 tahun)
  5. Early adolescence (masa dewasa awal, antara 14-17 tahun)
  6. Late adolescence (masa dewasa akhir, antara 18-20 akhir)
  7. Adulthood (masa dewasa / sebagai orang tua, setelah usia 20 sampai 30 tahun).

 

  1. Teori teori Kepribadian

  1. TeoriKepribadianTsikodinamika

Teori psikodinamika berfokus pada pergerakan energi psikologis di dalam manusia, dalam bentuk kelekatan, konflik, dan motivasi.

  1. TeoriFreud

Sigmund Freud berpendapat bahwa kepribadian terdiri dari tiga sistem utama: id, ego, dan superego. Setiap tindakan kita merupakan hasil interaksi dan keseimbangan antara ketiga sistem tersebut.

  1. TeoriJung

Carl Jung pada awalnya adalah salah satu sahabat terdekat Freud dan anggota lingkaran koleganya, tetapi pertemanan mereka berakhir dalam pertengkaran tentang ketidaksadaran. Menurut Jung, di samping ketidaksadaran individual, manusia memiliki ketidaksadaran kolektif yang mencakup ingatan universal, simbol-simbol, gambaran tertentu, dan tema-tema yang disebutya sebagai arketipe.

  1. Pengertian Nilai

Pola yang dapat kita lihat dari nilai adalah perubahan perilaku dan alasan seseorang dalam membelanjakan uang atau sember daya yang mereka kelola dan mereka miliki. Semakin tinggi mereka menilai dari suatu barang dan jasa terhadap kehidupan, maka makin tinggi pula apresiasi mereka dalam memandang barang dan jasa tersebut dari segi konsumsi. Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia.moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari Nilai sama dengan sesuatu yang menyenangkan kita, nilai identik dengan apa yang diinginkan, nilai merupakan sarana pelatihan kita, nilai pengalaman pribadi semata, nilai ide platonic esensi.

Pengertian nilai menurut para ahli :

  1. Menurut Driyarkara (1966,38)

Nilai adalah hakekat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia.

  1. Menurut Fraenkel (1977:6)

Nilai adalah idea atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh sesorang, biasanya mengacu kepada estetika (keindahan), etika pola prilaku dan logika benar salah atau keadilan justice. (Value is any idea, a concept , about what some one think is important in life).

  1. Menurut Kuntjaraningrat (1992:26)

Menyebutkan sisten nilai budaya terdiri dari konsepi-konsepi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar keluarga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.

  1. Menurut Endang Sumantri

Sesuatu yang berharga, yang penting dan berguna serta menyenangkan dalam kehidupan manusia yang dipengaruhi pengetahuan dan sikap yang ada pada diri atau hati nuraninya.

  1. I. Soelaeman

Agama diarahkan pada perintah dan larangan, dorongan dan cegahan, pujian dan kecaman, harapan dan penyesalan, ukuran baik buruk, benar salah, patuh tidak patuh, adil tidak adil.

  1. Menurut Darji

Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani.

  1. Macam – macam Nilai

Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu :

  1. Nilai logika adalah nilai benar salah.
  2. Nilai estetika adalah nilai indah tidak indah.
  3. Nilai etika/moral adalah nilai baik buruk.

 

  1. Pengertian Gaya Hidup

Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat dan opini khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status sosialnya. Gaya hidup merupakan frame of reference yang dipakai sesorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana dia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya.

Untuk merefleksikan image inilah, dibutuhkan simbol-simbol status tertentu, yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Gaya hidup dapat dipahami sebagai sebuah karakteristik seseorang secara kasatmata, yang menandai sistem nilai, serta sekap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Menurut Piliang (1998: 208), Gaya hidup merupakan kombinasi dan totalitas cara, tata, kebiasaan, pilihan, serta objek-objek yang mendukungnya, dalam pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu.

Sumber :

http://lazuardiarifin.blogspot.co.id/2015/01/kepribadian-nilai-dan-gaya-hidup.html