Karangan Non Ilmiah (Fiksi)

Tipe Idealku~

Umurku 18 tahun. Masa dimana seorang gadis terlihat semuanya. Kecantikannya, pesonanya, dan masa depannya. Nah begitu juga denganku, aku yang sekarang menduduki kelas 3 SMA kini telah memikirkan apa yang akan aku lakukan kelak. Seperti pekerjaan apa yang pantas buatku, sampai memikirkan jodoh yang akan ku dapat nanti seperti apa. Berbicara tentang jodoh pasti lekat dengan tipe ideal apa yang akan dipilih untuk menghiasi kehidupan kita selanjutnya. Aku yang notabene anak jilbaber tentu gak akan sembarangan memilih tipe ideal. Tapi ketika aku berpikiran tentang tipe idealku, aku tidak akan menjelaskan panjang lebar karena di kepalaku sekarang aku sedang menyukai seseorang. Seseorang yang telah menjadi tipe idealku selama dua tahun terakhir. Namanya Zafran.

“Ayo dek!” Kak Ifa menyenggol lenganku. Lamunanku tentang jodoh pun berakhir. Ternyata aku sedang berada di bus mini yang telah berhenti di persimpangan jalan. Aku mengikuti Kak Ifa menuruni bus. Siang itu terik sekali, biasanya sepulang sekolah aku langsung ke rumah. Tapi kali ini Kak Ifa, kakak kelasku yang telah lulus tahun lalu mau meminjamiku novel karya penulis favoritku. Tere liye. Jadi aku diajak ke rumahnya. Sepi sekali. Oh ya aku lupa kan Kak Ifa sudah hidup mandiri. Rumahnya adalah sebuah apartemen kecil di lantai tiga daerah bandung. Mungil dan rapi.

“Duduk dulu dek, tak ambilin minum dulu.” aku mengangguk sambil menyandarkan bahuku di sofa empuk.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Terdapat miniatur hiasan dan beberapa foto yang menempel di dinding. Kalian pasti tahu ketika aku sekarang sedang melihat sebuah foto yang menggantung tepat di sebelah jendela. Hatiku bergetar sebentar. Tak terasa pipiku memanas. Aku tersenyum. Tahu kan apa itu? Terlihat sosok berdiri dengan lutut setengah ditekuk sedang merangkul Kak Ifa. Benar dialah Zafran kakaknya Kak Ifa. Foto itu diambil tahun lalu ketika hari wisudanya Kak Ifa. Secara pribadi aku tidak pernah bertemu langsung dengan Kak Zafran. Aku mengetahuinya saat itu ada talk show tentang remaja di sekolah.

Aku sebenarnya termasuk cewek yang cuek dan gak mudah tertarik dengan laki-laki, karena dulu ketika aku pernah naksir dengan beberapa cowok pasti akhir-akhirnya semua adalah perok*k. Wah ganteng ganteng perok*k. Itu biasanya yang selalu jadi alasanku untuk tidak tertarik cowok. Tapi kali itu aku bertemu dengan Kak Zafran lebih tepatnya melihatnya saat jadi mc di talk show tersebut. Aku langsung berasumsi inilah tipeku. Lagi-lagi hatiku bergetar. Aku mengenal Kak Ifa saat MOS SMA dulu, sebelumnya keluargaku dan keluarga Kak Ifa sudah saling mengenal. Tapi baru kenal akrab ketika sama sama SMA. Aku tahu kalau Kak Ifa mempunyai kakak laki-laki tapi aku tidak tahu kalalu itu Kak Zafran.

“Nih silahkan diminum.” Kak Ifa membuatkan jus apel yang segar. Kak Ifa dan aku sama-sama jilbaber. Keluarga kami termasuk keluarga yang religius. Jadi, kami selalu berada dalam pengawasan orangtua. Dalam hal apa pun dari masalah sekolah, teman yang kita gauli, sampai masalah pemilihan jodoh semua harus dengan persetujuan orangtua kita. Aku tidak pernah tertekan selama semua itu masih tidak masalah bagiku.

“Gak pulang kampung Kak?” tanyaku sambil menyeruput jus apel.
“Ah belum Sa, nunggu Kakakku habis wisuda.”
“Oh S2 ya?” tanyaku.
“Gak pengen segera meminang cewek Kak, masa udah umur belum ada yang nempel?” aku sedikit tertawa. Kak Zafran kalau dihitung tahun ini sudah berumur 26 tahun, usia yang sudah pantas menikah. Padahal tuh temennya buanyak banget masa sih belum ada yang cocok. Ah orang kan beda beda, lah wong emang belum jodohnya.

“Kak Zafran itu memang gitu, pengen usaha mandiri dulu baru menikah, lah cewek-cewek yang ditawarin Ayahku dipending semua, hahaha, katane belum masuk nominal..” aku ikutan tertawa. Gak heran lah wong udah S2 masa mau nyari istri lulusan SMP atau SMA. Ya gak selevel lah.
“Emang kriteria Kak Zafran seperti apa?”
“Tahulah, katane pengen yang energik, mau belajar, dan so pasti yang cantiklah..”
“Hahaha, yang baik pasti dapet yang baik..”
Eittss jangan salah walaupun Kak Zafran adalah kriteria idamanku bukan berarti aku pengen jadi istrinya. Ya sadar dong, S2 kalee, masa iya mau yang masih bau kencur kayak begini.

“Tapi katanya targetnya mau nikah tahun ini.”
“Waah berarti udah ada yang mau dikenalin sama keluarga dong.”
“Yah tunggu aja kamu nanti bakal sibuk loh tak ajak kirimin undangannya.”
“Beres lah, serahkan pada Adikmu tercinta ini.”
Kak Ifa tertawa sambil menepuk pundakku. Setelah aku dapet buku novelnya, aku segera pamit pulang.
“Keburu sore Kak, entar Ibuku khawatir.”

6 bulan kemudian…
Aku telah lulus SMA dan telah magang jadi guru SD. Walaupun masih kuliah aku telah diterima jadi guru.
“Waah mbak Raisa ini udah cantik, pinter, jilbaber pula, cocok jadi kriteria idaman setiap cowok!” ujar temen-temen guruku. Aku tersenyum merendah.
“Ah gak gitu juga kok, masih jelek banget mbak.”
“Cepet nikah aja tuh temen guru cowok udah pada banyak yang ngelirik loh.”
“Mau kuliah dulu mbak, nyari ilmu yang banyak dulu, hehehehe, mantesin diri siapa tahu dapet yang S2..” semua orang tertawa. Tiap hari kalau kumpul di kantor bahasannya selalu nikah.

“Ya kamu duluan dong, masa udah mau kepala tiga gak nongol-nongol undangannya.” ujar salah satu temanku, Fatma. Yang disinggung langsung mendelik.
“Jodoh itu rahasia, kalau udah waktunya bakalan menjemput, weeekk..” mbak Laila ngeles.
“Ya kalau gak dijemput ya gak bakalan turun lah..” Fatma tambah mengolok-ngolok mbak Laila.
“Emang turun dari mana? Kayak dongeng aja pake kereta kencana.”
“Mungkin sebenarnya udah ada tuh tapi gak tahu.” ujarku ikut-ikutan. Mbak Laila itu selalu dijodoh-jodohkan dengan pak Andi, guru olah raga. Sama sama mau kepala tiga.
“Sssstt… Orangnya entar kegigit-gigit loh kalau makan.”

Kami tertawa semua. Bel pulang pun berbunyi, obrolan kita bersambung minggu depan lagi. Karena hari ini weekend. Hari minggu aku tetap di rumah, bersih-bersih dan memasak. Biasanya kalau gak ada acara ya istirahat aja. Ayahku sedang memperbaiki komputernya yang katanya agak rusak. Ayahku seorang guru juga jadi walau hari libur gak pernah bersantai, ada aja kerjaan sekolahnya. Mau mengetik tapi monitornya agak bermasalah.

“Assalamualaikum…” seseorang mengetuk pintu di depan.
Aku segera berjalan membuka pintu. “Waalaikum salam, loh..” Seorang pria berdiri di depanku.
“Loh Kak Zafran, tumben sekali.” sebenarnya agak kaget juga.
Ayahku mengikutiku ke depan. “Oh sudah sampe toh Nak Zafran, ayo silahkan masuk!”
“Ini loh Nak Zafran mau membantu Ayah memperbaiki komputer.” Kak Zafran duduk di ruang tamu. Jujur saja baru kali ini aku melihat Kak Zafran dari dekat. Dia tampan, tingginya sekitar 170, saleh dan sangat baik. Sudah ku bilang dialah tipe idealku.

“Dek Raisa udah besar ya, dulu masih segini.” Kak Zafran menunjuk lengan tangannya.
“Sekarang sudah segini.” tangannya memegang pelipis kepalanya.
Aku tersenyum. Ngaco nih Kak Zafran masa aku setinggi itu. Aku segera ke dapur membuatkan teh. Setelah itu aku kembali ke kamar untuk merapikan buku-bukuku. Aku tidak terlalu mendengarkan percakapan Kak Zafran dengan ayahku karena aku sudah terlelap tidur.

Aku kembali ke rutinitasku biasanya. Tak ada halangan apa-apa atau kejadian kejadian lainnya. Sampai pada hari sabtu sore. Ketika ibuku dan ayahku pulang dari kantor… “Banyak banget bawaannya, habis belanja ya Bu?” tanyaku terheran-heran. Ibu dan ayah tidak biasanya belanja sebanyak ini.
“Ini loh Nak, besok mau ada temen Ayahmu datang, satu mobil katanya.” jelas ibuku. Aku manggut-manggut sambil ikut membantu membawa barang belanjaan masuk. Malamnya aku ikutan sibuk-sibuk membantu ibu di dapur. Membuat kue kue kering, basah, dan masakan lainnya. Wah banyak banget ini kalau cuma buat satu mobil.” pikirku.

“Kayak mau ada acara apa Bu, istimewa banget.” celetukku.
Ibuku hanya tersenyum. Biasanya kalau ada acara reuni selalu pesan catering. Ibu tidak perlu repot-repot di dapur.
“Ini tamu istimewa banget, Sa.”
“Besok kamu ikutan menyambut, gak ada acara kan?”
Aku mengangguk.

Pagi ini rusuh sekali aku sampai kecapean membantu ibu menata makanan.
“Ayo Sa cepet mandi!” teriak ibuku dari dari dapur.
“Ambil bajunya di kamar Ibu.”
Haaa….
“Sarimbitan lagi ta Bu?”
“Ya pokoknya pake baju yang di kamar Ibu.”

Setelah mandi aku langsung ke kamar ibuku. Aku terperanjat. Beneran aku mau dipakein baju ini. Baju itu biasa, gamis. Tapi yang membuat beda itu adalah bukan style-ku biasanya. Ini feminim banget. Warnanya peach ada corak bunganya di bagian rok bawahnya. Dipadu dengan jilbab panjang pashmina berwarna senada. Ada bros dan peniti warna-warni. Benar-benar bukan styleku. Aku tipe cewek yang casual suka yang kalem dan gak feminim.

“Bu, gamis ini ya?”
Ibuku mengiyakan. Segera ku pakai daripada diomeli nantinya. Adikku menyerobot masuk kamar.
“Wuuiiiihhh cantiknya. Kayak mau ketemu pacar saja.” goda adik perempuanku. Aku melengos gak peduli.
“Sini Ibu dandani.” ibu masuk membawa alat make up.
“Waah ngapain Bu, pake bedak aja!”
“Udah gak usah protes.” set, set, set aku didandani bak pengantin.

Tamu yang dikata istimewa itu pun tiba. Tapi kok aku tidak asing dengan plat nomor mobil nya. Lhaaaaaahhh…..
“Loh Kak Ifa?” tuh bener itu kan mobil orangtuanya Kak Ifa. Dia melambaikan tangan kepadaku sambil cengar-cengir. Aku masih melongo. Kok Kak Ifa gak bilang kalau mau ke sini? Sama keluarga besarnya lagi!” Kami sekeluarga menyambut keluarga Kak Ifa. Saling cipika-cipiki. Aku berbisik pada ibuku.
“Temennya Ayah belum datang ya? Malah ketambahan tamu lagi, hihihi.” bisikku.
“Ya ini tamu istimewa Ayahmu.” ujar ibuku sambil tersenyum.
“Oalah!”

Kak Zafran kali ini tampil dengan hem warna hitam yang selaras dengan celananya. Benar-benar tambah ganteng! Hihihi. Aku mengerling pada Kak Ifa.
“Kok gak bilang mau ke sini, tumben sekali?”
Kak Ifa hanya tersenyum. “Aku juga baru dikasih tahu tadi pagi.” jawabnya.
Kami pun segera masuk rumah.

“Alhamdulillah kami sekeluarga bisa silaturahmi ke rumah bapak Agus. Kami datang bukan tanpa maksud apa-apa. Saya dengan sangat hormat dan penuh ketidaksopanan ingin meminang dek Raisa. Saya telah berbicara langsung minggu kemaren dengan Pak Agus dan keluarga saya, dan saya telah melihat sendiri bagaimana Dek Raisa yang akhirnya saya telah memantapkan diri dan hati bahwa saya tidak akan salah memilihnya untuk mendampingi dalam sisa umurku nanti…” ucap Kak Zafran dengan tegas dan mantap. Seperti dapat petir di siang bolong aku langsung melongo. Melamar? Melamar siapa? Aku? Gak salah ya? Ibuku menggenggam tanganku. “Gimana Nak?” ibuku bertanya padaku.

Aku langsung dilema. Aku tak tahu harus menjawab apa. Bahkan aku sekarang tidak tahu masih bernapas atau tidak saking kagetnya. Kepalaku menunduk, tanganku meremas-remas tanda gugup sekali. Aku harus menjawab apa ini? Banyak hal yang masih ingin aku lakukan sendiri. Tapi itu tidak akan bisa menjadi alasan. Kenapa ayah dan ibu tidak memberitahuku? Jangan-jangan memang sengaja. Ku beranikan diri untuk mendongakkan kepalaku. Ku tatap wajah ayahku. Dia tersenyum padaku dengan mantap. Tak ku temukan keraguan dalam kilatan matanya. Akhirnya… “Aku menurut bagaimana pendapat Ayah, Ibuku.” ujarku.

Ku lihat wajah Kak Ifa. Dia mengangguk senang. Dan dengan sedikit keraguan ku layangkan pandanganku kepada Kak Zafran. Seketika aku langsung terpaku, bagaimana tidak. Dia tersenyum sangat manis padaku. Aku terkesima. Ini Kak Zafran kan? Katanya mau menikah tahun ini? Calonnya siapa? Aku? Masa aku? Yang bener? “Alhamdulillah kami Ayah dan Ibu merestui kamu dengan Nak Zafran, kami percaya kamu bisa jadi istri yang baik, makanya Ayah dan Ibu sengaja tidak memberitahumu karena kamu juga sudah pantas menikah.” ucap ayahku.

Ku balas genggaman tangan ibuku. Aku tak percaya, Kak Zafran adalah kriteria idamanku dan tetap seperti itu selamanya. Sekarang dia akan menjadi suami sekaligus teman hidupku. Allah tidak memilihkan orang lain untukku karena sudah ada Kak Zafran yang hanya ada satu di dunia ini. Tak perlu mencari orang lain yang mirip. Dialah Kak Zafran, tipe idealku dan cinta sejatiku sampai kapan pun. Malamnya ku habiskan diriku untuk memanjatkan rasa syukurku kepada Allah. Hanya karenanya semua ini terjadi. Yang baik akan bertemu dengan yang baik. Hari berlalu dengan cepat. Sampai tiba dimana hari aku melepaskan masa lajangku. Kabar pernikahanku merebak dengan cepat. Kak Ifa tidak henti-hentinya menggodaku.

“Bener kan Kakakku menikah tahun ini?”
“Ya kan Mbak Raisa.” godanya.
“Kamu jadi Mbakku kan.”

Aku memeluknya dengan haru. Nasyid islami mengiringi langkah kakiku menuju pelaminan. Gaun pengantin yang ku kenakan menjadikanku laksana sang putri satu malam. Sedangkan Kak Zafran mengenakan setelan jas yang membuatnya tambah menawan. Dia tersenyum padaku. Pipiku merona. Aku terpesona berkali-kali. Akhirnya akad nikah pun berlangsung. Kak Zafran mengucapkan ijab qobul dengan mantap tanpa ada keraguan. Setiap katanya bergema di hatiku. Air mataku meleleh perlahan. Aku memeluk ibuku dengan erat.

Ku cium tangan Kak Zafran dengan khidmat. Dia memegang ubun-ubunku sambil berdoa.
“Alhamdulillah Allah telah mengirimkan bidadari kepadaku malam ini.” senyumnya mengembang indah. Ku balas senyuman itu dan ku tatap wajahnya. Lagi-lagi aku terpesona. Dialah tipe idealku. “Kapan Kak Zafran jatuh cinta padaku?”
“Saat pertama kali melihatmu.”

“Kenapa?”
“Karena tidak ada wanita yang memikat hatiku dalam pandangan pertama selain kamu.”
“Aku mencintaimu sekarang dan sampai nanti.”
“I love you, Raisa.”

Aku menangis. Rasa bahagia membuncah di hati. Dua insan saling jatuh cinta. Memang kalau sudah begini, rasanya dunia hanya milik kita berdua. Kak Zafran yang 7 tahun lebih tua dariku, kini telah syah menjadi suami sekaligus teman hidupku. Sekali lagi ku katakan, dialah tipe idealku dan akan tetap seperti itu sampai kapan pun. Dialah milikku selamanya. “Terima kasih ya Allah, atas kesempatan menikmati rasa yang indah di hati kami.” Malam ini menyisakan rintik hujan yang lembut. Malam yang benar-benar hening dan syahdu. Menyanyikan nyanyian malam.

Selesai

Tinggalkan komentar